MENGEMIS MENJADI TRADISI DAN KEBANGGAAN RAKYAT MADURA


Madura merupakan suatu pulau yang memiliki berbagai budaya yang melekat pada setiap pribadi masing-masing. Seperti contohnya carok. Carok (duel menggunakan celurit), adalah salah satu contoh paling terkenal tentang "hitam putihnya" kehidupan masyarakat Madura. Sebagai masyarakat yang dikenal pemeluk Islam taat, seharusnya budaya membunuh orang lain tidak tumbuh di alam sosial Madura. Namun persoalan carok itu tidak hanya berdiri di atas budaya masyarakat yang keras. Tradisi carok juga bertalian dengan pendidikan. Karenanya, seiring dengan makin banyaknya masyarakat terpelajar, budaya itu mulai banyak ditinggalkan, meskipun masih muncul beberapa kasus.
Selain itu yang menjadi stigma negatif bagi masyarakat Madura adalah, sering ditemuinya orang yang menjadi pengemis di luar pulau. Menurut mereka budaya mengemis yang sudah mereka lakukan secara turun-temurun itu dinilainya sebuah pekerjaan yang normal. Profesi itu terlihat ironis karena masyarakat Madura dikenal sebagai pekerja keras. Lebih ironis lagi karena agama yang mereka anut (Islam) tidak membenarkan menempatkan tangan di bawah.
Desa Pragaan Daya, yang terletak di Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep sekitar 45 km arah barat Kota Sumenep, hanya bagian kecil dari wajah Madura namun kenyataan desa yang 90 persen penduduknya adalah pengemis telah mengesampingkan gambaran masyarakat Madura sebagai pekerja keras. Secara fisik desa itu tidak menampakkan bahwa penduduknya meminta-minta. Di era tahun 1980-an, saat rumah penduduk lain masih banyak yang berdindingkan "gedek" (anyaman bambu), rumah warga Pragaan Daya sudah menggunakan tembok dan lantainya disemen, bahkan sebagian bertegel. Suasananya pun tidak beda dengan desa-desa lainnya di Madura yang terlihat tenang. Aktifitas warga yang paling menonjol adalah mengambil rumput untuk pakan ternak sapi di pagi hari, sebelum mereka menjalankan aktivitas mengemis.
Menurut informasi yang saya dapatkan, salah satu dari pengemis itu yang sehari-hari meminta-minta di kota Sumenep ternyata memiliki rumah permanen berlantai keramik dilengkapi pesawat TV serta berbagai hiasan yang terpampang di dinding rumahnya. Ia tetap mengemis karena hal itu sudah menjadi budaya turun temurun, termasuk warga lainnya yang kondisi ekonominya tergolong kelas menengah untuk ukuran desa. Karenanya tidak heran bagi warga yang tak mampu, mengemis adalah keharusan untuk dijalankan.
Banyak alasan yang dilontarkan untuk membenarkan pekerjaan mereka itu, antara lain tidak memiliki usaha lain jadi satu-satunya jalan harus menerima sedekah dari yang lebih punya dan hasil sedekah dari mereka yang memberi itu dibelanjakan untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak. Tidak hanya mengenyam pendidikan dasar dan SLTP, anak-anak mereka tidak sedikit juga yang menjadi sarjana. Karenanya di desa itu banyak penyandang gelar sarjana. Saat ini juga banyak putra-putri mereka masih kuliah di perguruan tinggi terkemuka di Surabaya, Jombang dan Yogjakarta, malah ada satu keluarga dari warganya yang merantau menjadi pengemis di wilayah Jember dan anaknya kuliah di Fakultas Kedokteran pada salah satu perguruan tinggi di Jember.
Dalam pandangannya, uang hasil meminta-minta itu adalah rezeki halal karena uang itu diberikan oleh si empunya secara ikhlas. "Kalau tidak ikhlas tidak mungkin diberikan pada kami. Jadi, pemberian orang itu adalah sedekah yang tidak ada salahnya bila diterima," katanya.
Dari 8.000 warganya 90 persen diantaranya sebagai pengemis, sedangkan 10 persennya, sebagai guru swasta, baik di lembaga pendidikan umum maupun di lingkungan pondok pesantren terdekat. Para pengemis di sana umumnya mempunyai sapi piaraan dan kambing. Bahkan, ada juga yang mempunyai toko kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat di samping rumahnya. Meski lokasi Desa Pragaan Daya sangat dekat dengan Pondok Pesantren Modern Al Amien di Prenduan, Sumenep, namun tak membuat warganya malu menyandang predikat sebagai pengemis.
Yang cukup memperihatinkan, predikat pengemis, kini tidak hanya disandang warga Desa Pragaan Daya, karena banyak warga desa lain di Kecamatan Pragaan kini ikut-ikutan menjalani pekerjaan seperti itu. Bahkan, sejumlah desa sekitarnya, seperti desa Kopedi, Kecamatan Bluto dan Desa Guluk-Guluk yang letaknya berdampingan dengan Pragaan Daya juga melakukan aktivitas sebagai pengemis.
Biasanya menjelang hari raya Idul Fitri, pengemis mulai berdatangan ke Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kedatangan mereka itu bukan hanya sendirian, tapi berkolompok. Mereka hanya mengandalkan kekompakan yang senasib dan sepenanggungan. Seolah sudah mengerti tempat-tempat yang harus didatangi, begitu sampai di sekitar tujuan, para pengemis yang umumnya dari kaum perempuan ini langsung memisahkan diri.

0 komentar:

Posting Komentar